• Epidemiologi Penyakit Menular Hepatitis B

    Oleh:
    Elvany R. Fallo & Alci Y. Beti
    (Mahasiswa Jurusan IKM Fakultas Kesehatan Masyarakat, Undana Kupang)





    BAB I
    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang
    Hati merupakan salah satu organ terpenting dalam tubuh manusia. Fungsi hati diantaranya adalah memproduksi cairan empedu yang dapat membantu pencernaan lemak , menyimpan karbohidrat, memproduksi senyawa penting dalam pembekuan darah, serta menghilangkan racun dari tubuh. Organ ini sangat tangguh bahkan bisa tetap bekerja walau sedang mengalami kerusakan dan mampu terus beregenerasi ( memperbaiki diri) selama tidak mengalami kerusakan yang parah. Salah satu infeksi serius yang dapat menyerang hati adalah hepatitis B.
    Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa infeksi virus hepatitis B merupakan penyebab lebih dari 780.000 kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Di indonesia sendiri, hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukan bahwa prevelensi hepatitis B sebesar 9,4%. Hal ini berarti 1 dari 10 penduduk indonesia terinfeksi hepatitis B, sayangnya hanya satu dari 5 penderita hepatitis B di indonesia yang sadar bahwa mereka menderita penyakit itu.
    1.2 Rumusan Masalah
    Apa yang dimaksud dengan Penyakit Hepatiti B?
    Bagaimana cara pengobatan dan cara pencegahan penyakit Hepatitis B?
    Berapa lama masa inkubasi penyait Hepatitis B ?
    Bagaimana distribusi penyakit tersebut di dunia, Indonesia dan di NTT berdasarkan orang, waktu dan tempat ?
    1.3 Tujuan Penulisan
    Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Penyakit Hepatitis B
    Untuk mengetahui bagaimana cara pengobatan dan cara pencegahan penyakit tersebut
    Untuk mengetahui distribusi penyakit Hepatitis B di dunia, Indonesia, dan di NTT
    Untuk memenuhi tugas dari dosen Mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular






    BAB II
    PEMBAHASAN

    2.1 Penyakit Hepatitis B
     Hepatitis merupakan istilah yang digunakan untuk semua jenis peradangan pada sel – sel hati, yang disebabkam oleh infeksi (virus, bakteri, parasite). Ada 5 jenis hepatitis yang disebabkan oleh virus yaitu Hepatitis A, B, C, D, dan E, yang akan dibahas di makalah ini adalah Hepatitis B.
    Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, yang merupakan suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
    A. Agent Penyakit Hepatitis B
    Penyakit hepatitis B disebabkan oleh infeksi bernama Hepadnaviridae virus. Virus yang ini merupakan virus DNA, yang berarti bahwa virus ini adalah material genetika yang diciptakan oleh asam deoksiribonukleat.



                Mikroorganisme penyebab penyakit hepatitis B sering disebut HBV. Virus DNA serat ganda parsial (partially double stranded), panjang genom sekitar 3200 pasangan basa. Mempunyai envelope/selubung. Di dalam darah penderita hepatitis B akut ditemui bentuk partikel virus, yaitu :
    1.        Sferikal pleomorfik, diameter 17-25 nm, terdiri dari komponen selubung saja. Jumlahnya lebih banyak dari partikel lainnya.
    2.        Tubular atau filamen, diameter 22-200 nm, juga komponen selubung.
    3.        Partikel virion lengkap atau partikel Dane, terdiri dari genom HBV dan selubung, diameter 42 nm.
                Protein yang dibuat oleh virus ini yang bersifat antigenik serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit adalah:
    Antigen permukaan/surface antigen/HbsAg, berasal dari selubung. Antigen yang semata-mata disandi oleh gen D disebut sebagai mayor protein, yang oleh daerah pre-S2 dinamakan middle protein dan yang oleh Pre-S1 disebut large protein.
    2.    Antigen core/ core antigen HbsAg, disandi oleh daerah core.
    3.    Antigen e/ e antigen/HbsAg, disandi oleh gen pre-core.
    B. Cara Penularan
    Bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan HBV antara lain darah dan produk darah, air ludah, cairan Cerebrospinal, Peritoneal, Pleural, cairan Pericardial dan Synovial; cairan amniotik, semen, cairan vagina, cairan bagian tubuh lainnya yang berisi darah, organ dan jaringan tubuh yang terlepas. 
    Cara penularan HBV yang paling sering terjadi antara lain meliput kontak seksual atau kontak rumah tangga dengan seseorang yang tertular, penularan perinatal terjadi dari ibu kepada bayinya, penggunaan alat suntik pada para pecandu obat-obatan terlarang dan melalui pajanan nosokomial di rumah sakit.
    Penularan seksual dari pria yang terinfeksi kepada wanita sekitar 3 kali lebih cepat daripada penularan pada wanita yang terinfeksi kepada pria. Hubungan seksual melalui anal, baik penerima maupun pemberi, mempunyal risiko sama terjadinya infeksi. Penularan HBV di antara anggota rumah tangga terutama terjadi dari anak ke anak. Secara umum, kadang kadang penggunaan pisau cukur dan sikat gigi bersama dapat sebagai perantara penularan HBV. 
    Penularan perinatal biasa terjadi pada saat ibu pengidap HBV dengan positif HBeAg. Angka penularan dari ibu yang positif HBsAg, dan juga dengan HBeAg positif adalah lebih dari 70 %, dan angka penularan untuk ibu yang positif HBsAg, dengan HBeAg negatif adalah kurang dari 10 %. 
    Penularan yang dikaitkan dengan penggunaan obat suntik para pecandu Napza dapat terjadi melalui darah yang tercemar HBV melalui alat suntik yang dipakai bersama baik secara langsung melalui alat suntik atau karena kontaminasi perlengkapan untuk menyiapkan obat. 
    Pajanan nosokomial yang mengakibatkan terjadinya penularan HBV termasuk melalui transfusi darah atau produk darah, he- modialisa, akupunktur dan karena tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja atau luka lain yang disebabkan karena tertusuk peralatan yang tajam adalah cara-cara penularan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. IG, fraksi protein plasma yang dilakukan pemanasan, albumin dan fibrinolisin dianggap aman untuk diberikan.
    C. Manifestasi Klinis
    Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010).
    Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
    1. Fase Inkubasi
    Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata rata 60-90 hari.
    2. Fase prodromal (pra ikterik)
    Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum,mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
    3. Fase ikterus
    Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
    4. Fase konvalesen (penyembuhan)
    Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo et al, 2009). 
    Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :
    1. Fase Imunotoleransi
    Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.


    2. Fase Imunoaktif (Clearance)
    Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
    3. Fase Residual
    Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al, 2009).
    D. Patogenesis
    Infeksi VHB dapat terjadi apabila partikel utuh VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit, kemudian kode genetik VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dan kode genetik tersebut akan “memerintahkan” sel hati untuk membentuk protein-protein komponen VHB. Patogenesis penyakit ini dimulai dengan masuknya VHB ke dalam tubuh secara parenteral. Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB dalam hati, yaitu 2,
    ( Attachment 
    Virus menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi dengan perantaran protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly-HSA (polymerized Human Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B antigen surface).
    ( Penetration 
    Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membran virus menyatu dengan membran sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzim polimerase dan DNA VHB ke dalam sitoplasma sel pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju nukleus hepatosit. 
    ( Uncoating
    VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially double stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA terlebih dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA). cccDNA inilah yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA. 
    ( Replication Pregenom 
    RNA dan mRNA akan keluar dari nukleus. Translasi akan menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetik dan menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzim polimerase. Translasi mRNA lainnya akan membentuk komponen protein HBsAg. 
    ( Assembly Enkapsidasi 
    pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi partikel core di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion akan terbentuk dan masuk kembali ke dalam nukleus. 
    ( Release 
    DNA kemudian disintesis melalui reverse transcriptase. Kemudian terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom oleh protein HBsAg di dalam retikulum endoplasmik. Virus baru akan dikeluarkan ke sitoplasma, kemudian dilepaskan dari membran sel.
    E. Masa Inkubasi
    Masa inkubasi biasanya berlangsung 45 – 180 hari, rata – rata 60 – 9 hari. Paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HbsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai selama 6 – 9 bulan; perbedaan masa inkubasi tersebut dikaitkan dengan berbagai factor antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara – cara penularan dan factor pejamu.
    F. Pemeriksaan
      Ada tiga pemeriksaan standar yang biasa digunakan untuk menegakkan diagnosa infeksi hepatitis B yaitu:
    1.   HBsAg (hepatitis B surface antigen) adalah satu dari penanda yang muncul dalam serum selama infeksi dan dapat dideteksi 2-8 minggu sebelum munculnya kelainan kimiawi dalam hati atau terjadinya jaundice (penyakit kuning). Jika HBsAg berada dalam darah lebih dari 6 bulan berarti terjadi infeksi kronis. Pemeriksaan HBsAg bisa mendeteksi 90% infeksi akut.
    Fungsi dari pemeriksaan HBsAg diantaranya :
    Indikator paling penting adanya infeksi virus hepatitis B
    Mendiagnosa infeksi hepatitis akut dan kronik
    Tes penapisan (skrining) darah dan produk darah (serum, platelet, dll)
    Skrining kehamilan
    2.   Anti HBs (antobodi terhadap hepatitis B surface antigen): jika hasilnya “reaktif/positif” menunjukkan adanya kekebalan terhadap infeksi virus hepatitis B yang berasal dari vaksinasi ataupun proses penyembuhan masa lampau.
    3.   Anti HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B), terdiri dari 2 tipe yaitu Anti HBc IgM dan anti HBc IgG.                                               
    Anti HBc IgM :
    muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan bertahan hingga 6 bulan                              
    berperan pada core window (fase jendela yaitu saat dimana HBsAg sudah hilang tetapi anti –HBs belum muncul
    Anti HBc IgG : -muncul sebelum anti Hbc IgM hilang                               
    Terdeteksi pada hepatitis akut dan kronik                                                     
    Tidak mempunyai efek protektif  Interpretasi hasil positif anti-HBc tergantung hasil pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs.

    G. Pengobatan
    Pengobatan untuk hepatitis b dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu, terapi minum obat dan terapi jarum suntik 
    terapi obat minum
    pada terapi oba minum virus dapat dikalahkan dalam waktu singkat namun virus dapat hidup kembali jika terapi dihentikan
    terapi jarum suntik 
    pada terapi jarum suntik, terapi yang diberikan untuk melatih sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus.
    Langkah pengobatan hepatitis b akut, tidak ada langkah khusus untuk mengobati hepatitis b akut, karena penyakit dan gejala yang muncul dapat hilang dengan sendirinya setelah 2-3 minggu tanpa harus menjalani perawatan di rumah sakit. Namun jika gejala yang muncul cukup parah, dokter akan meresepkan obat antivirus, seperti lamivudine. Penderita hepatitis b akut yang sudah merasa sehat, belum tentu terbebas dari virus. Dokter mengjurkan pasien tetap menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin guna memastikan bahwa penderita sudah benar terbebas dari virus.
    Langkah pengobatan hepatitis b kronis, jika setelah enam bulan virus hepatitis b masih terdeteksi melalui tes darah, maka penderita dinyatakan memiliki hepatitis b kronis. Langkah penanganan yang di berikan untuk kondisi ini berbeda- beda sesuai dengan penilaian dokter.
    Penderita hepatitis b kronis akan diberikan obat antivirus guna melawan virus, menurunkan risiko kerusakan hati, dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi. Obat antivirus yang dapat diberikan untuk melawan virus hepatitis b adalah:
    entecavir
    tenofovir
    lamivudine
    adefovir
    telbivudine
    obat antivirus tidat dapat digunakan untuk menghilangkan infeksi hepatitis b, tetapi hanya mencegah perkembangan virus. Oleh karena itu, penderita hepatitis b kronis perlu melakukan control secara berkala ke dokter gastroenterology dan hepatalogi untuk melihat perkembangan penyakit, mengevaluasi pengobatan, dan mendeteksi dini komplikasi yang terjadi.
    Bila hepatitis b sudah mengakibatkan kerusakan hati hingga funsi organ hati terganggu secara permanen, dokter akan menyarankan penderita untuk menjalani prosedur transplantasi hati. Prosedur transplantasi hati dilakukan dengan mengganti organ hati yang rusak dengan organ hati sehat yang diperoleh dari donor.


    G. Prognosis dan Pencegahan Hepatitis B
    Prognosis 
    Prognosis pasien dengan infeksi hepatitis B kronik bergantung pada faktor-faktor yang menyebabkannya jatuh pada kondisi sirosis. Secara umum, pasien dengan HBsAg positif memiliki kemungkinan risiko dalam 5 tahun mengalami sirosis antara 8-20%.
    Prediktor terkuat progresivitas suatu infeksi hepatitis B menjadi sirosis hati adalah kadar HBV DNA, terlepas dari status HBeAg maupun ALT. Pasien dengan kadar HBV DNA > 106 kopi DNA/ml memiliki insiden sirosis 36,2%, sementara individu dengan kadar HBV DNA < 300 kopi DNA/ml memiliki insiden sirosis hanya 4,5%. Pasien dengan kondisi derajat inflamasi dan fibrosis yang berat pada awal terdiagnosis memiliki kemungkinan sirosis yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan derajat fibrosis ringan.
    Pada pasien dengan sirosis kompensata, peluang kesintasan untuk 5 tahun mencapai 84%, sedangkan untuk 10 tahun berkurang menjadi 68%. Ketika telah jatuh dalam kondisi sirosis, maka risiko terjadinya sirosis dekompensata mencapai 20-25% tiap tahunnya. Untuk pasien dengan sirosis dekompensata, angka kesintasan mencapai 55%-70% pada 1 tahun dan hanya 14%-35% pada 5 tahun.
    Selain sirosis, komplikasi lain berupa karsinoma hepatoseluler (KHS) juga menjadi prediktor untuk prognosis buruk pada pasien dengan infeksi hepatitis B kronik. Hal-hal yang meningkatkan risiko pasien hepatitis B kronik mengalami KHS antara lain jenis kelamin pria, usia lanjut, riwayat konsumsi alkohol, paparan aflatoksin dari lingkungan, riwayat HBeAg positif, dan titer HBV DNA yang tinggi. Risiko terjadinya KHS pada pasien dengan sirosis berkisar antara 6%-15%.
    Pencegahan 
    Promosi Kesehatan :
    Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap gejala, cara penularan, cara pencegahan, penanganan penderita, dan resistensi obat Hepatitis Virus
    Menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan Hepatitis Virus
    Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan Hepatiti Virus
    Peningkatan komitmen pemangku kepentingan untuk kesinambungan pelaksanaan kegiatan Penanggulangan Hepatitis Virus.
    Perlindungan khusus hepatitis virus
    Perlindungan khusus dilakukan paling sedikit dengan penggunaan kondom, penggunaan alat pelindung diri, dan/atau mencegah penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi.
    Pemberian imunisasi
    Pemberian imunisasi hanya dilaksanakan untuk Hepatitis A melalui imunisasi secara aktif; dan Hepatitis B melalui imunisasi secara aktif dan pasif.  
    Pemberian imunisasi Hepatitis A dianjurkan diberikan kepada pelaku perjalanan ke daerah endemis, petugas kesehatan, penjamah makanan, atau masyarakat yang mempunyai risiko tertular dan menularkan.  
    Pemberian imunisasi Hepatitis B aktif wajib diberikan kepada bayi baru lahir segera setelah kelahirannya.  
    Pemberian imunisasi Hepatitis B pasif diberikan kepada bayi baru lahir dari ibu dengan hepatitis B segera setelah kelahirannya.
    Surveilains hepatitis virus
    Surveilans Hepatitis Virus dilaksanakan berbasis faktor risiko dan berbasis kejadian dengan melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan melalui penemuan penderita secara aktif dan pasif.
    Pengendalian factor resiko
    Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
    Peningkatan kualitas lingkungan
    Skrining darah donor
    Skrining organ untuk transplantasi
    Penggunaan alat-alat medis yang berpotensi terkontaminasi virus hepatitis.  
    Deteksi dini dan penemuan kasus dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dilakukan secara khusus di lapangan secara aktif.
    2.2 Distribusi Penyakit Hepatitis B
    a. Di Dunia
    Dilansir Reuter, PBB melaporkan bahwa warga dunia yang mengidap hepatitis B dan C diperkirakan mencapai 325 juta dengan angka kematian dari virus-virus ini semakin meningkat. Laporan terakhir dari World Health Organization (WHO) ini dianggap sebagai ancaman mematikan bagi kesehatan publik yang butuh tanggapan segera. Hepatitis membunuh 1,34 juta orang di tahun 2015, angka yang hampir sama dengan angka kematian karena HIV dan tuberculosis (TB). Namun, diterangkan oleh WHO, kontras dengan HIV dan TB, kematian akibat hepatitis bertambah tinggi, bertambah 22 persen selama tahun 2000 hingga 2014. Hepatitis sering sekalit tanpa gejala, tetapi tipe B dan C dapat memicu sirosis hati dan kanker jika tidak ditangani. Kurangnya kesadaran di antara yang terinfeksi mendorong penyebaran virus. Bagi hepatitis B yang biasanya menyebar melalui cairan tubuh seperti darah dan air mani, hanya 9 persen yang terinfeksi menyadari status kondisi mereka. 
    b. Di Indonesia
    Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling umum Hepatitis adalah yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C. 
    Prevalensi Hepatitis di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 1,2% meningkat dua kali dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yang sebesar 0,6%. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 4,3%. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan status ekonomi), kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah menempati prevalensi Hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. 
    Prevalensi semakin meningkat pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Jenis Hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah Hepatitis B (21,8%), Hepatitis A (19,3%) dan Hepatitis C (2,5%). Dengan besaran masalah yang ada dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat, maka perlu dilakukan upaya yang terencana, fokus, dan meluas agar epidemi virus Hepatitis ini dapat ditanggulangi. Untuk itu diperlukan payung hukum berupa Peraturan Menteri Kesehatan yang dapat dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan dalam melakukan penanggulangan Hepatitis, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2015.




    c. Di NTT
    Hasil Riskesdas tahun 2013, di antara 4 jenis hepatitis yang dikenal, jenis hepatitis yang terbanyak penderitanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hepatitis B (29,6 %) lalu disusul oleh hepatitis A (27,9 %) sedangkan hepatitis C dan hepatitis lainnya sangat kecil proporsinya dan bahkan kedua jenis hepatitis terakhir ini hanya ditemukan di 1 atau 2 kabupaten/kota saja. Kabupaten/kota yang tertinggi proporsi hepatitis B adalah Sabu Raijua (100 %) dan hanya jenis hepatitis tersebut yang ditemukan di kabupaten itu. Adapun proporsi hepatitis A yang tertinggi adalah di Manggarai (74,6 %). Kasus Hepatitis B berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2017 berjumlah 205 kasus dan yang melaporkan Kota Kupang 147 kasus, kabupaten Kupang 7 kasus dan TTS 51 kasus. Rinciannya dapat dilihat pada Lampiran Tabel.







    BAB III
    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan
    Penyakit hepatitis B disebabkan oleh infeksi bernama Hepadnaviridae. Akibatnya peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.

    3.2 Saran
    Hepatitis B adalah penyakit yang penularannya melalui cairan tubuh seperti darah, air liur, caiaran vagina,dll. Untuk itu pentingnya menjaga kesehatan dan pola hidup yang sehat serta menerapkan ABCDE.















    DAFTAR PUSTAKA


    Arsin A. Arsunan. 2016. “Epidemiologi Filariasis Di Indonesia”. Makasar : Pertama
    Yasmin Rini Aryani. 2019. “Determinan Filariasis”. Sidoarjo : Uwais Inspirasi Indonesia
    Masrizal. 2013 “Penyakit Filariasis”.FKM Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 7, No. 1
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Tinggalkan kesan Anda

@tuisulat. Diberdayakan oleh Blogger.